Pintu Masuk Karangkamulyan
Situs
Karangkamulyan merupakan situs dari masa Hindu-Buddha dengan koordinat
7°20,84'S 108°29,376'E. Diperkirakan situs ini merupakan peninggalan masa
Kerajaan Galuh. Situs Karangkamulyan berada di Desa Karangkamulyan, Kecamatan
Cijeungjing. Komplek situs berupa hutan yang luasnya 25,5 hektar berada di
pinggir jalan raya yang menghubungkan Ciamis – Banjar. Batas situs di sebelah
utara adalah jalan raya, sebelah timur Sungai Cimuntur, selatan Sungai
Citanduy, dan barat rest area. Kapan situs ini ditemukan tidak diketahui secara
pasti. Masyarakat setempat menyebutkan bahwa sejak sekitar tahun 1700 komplek
ini sudah sering dikunjungi untuk berbagai maksud. Namun demikian inventarisasi
benda-benda purbakala yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1914 tidak
menyebutkan adanya komplek Karangkamulyan.
Komplek
situs Karangkamulyan sekarang merupakan objek wisata budaya yang sudah tertata
rapi. Gerbang masuk utama terdapat di bagian barat. Pada bagian ini tersedia
lahan parkir yang cukup luas dilengkapi fasilitas warung makanan yang berjajar
rapi di bagian timur halaman parkir. Di sebelah selatan halaman parkir masih
terdapat halaman cukup luas yang pada bagian barat berdiri fasilitas masjid
yang cukup megah. Untuk memasuki komplek Karangkamulyan melalui pintu masuk
yang terdapat di sisi timur halaman belakang tempat parkir. Dengan melalui
jalan tanah yang terpelihara bersih beberapa situs dengan mudah dan nyaman
dapat dijangkau. Di dalam komplek situs tersebut terdapat beberapa objek.
a) Pangcalikan
Pertama kali yang dijumpai dari
pintu masuk situs ke arah timur yaitu Situs Pangcalikan. Situs ini berupa lahan
yang telah diberi pagar besi. Situs Pangcalikan terdiri tiga halaman
masing-masing dibatasi susunan batu dengan ketinggian sekitar 1 m lebar 0,35 m.
Halaman pertama terletak di sebelah selatan. Halaman kedua terdapat di sebelah
utara halaman pertama. Selanjutnya halaman ketiga terdapat di sebelah utara
halaman kedua.
Pada halaman ketiga ini terdapat
bangunan cungkup tanpa dinding tetapi diselubungi vitrage putih. Tinggalan yang
ada berupa batu putih tufaan berukuran 92 x 92 cm dengan tinggi keseluruhan 48
cm. Batu ini oleh masyarakat disebut pangcalikan. Di sebelah selatan batu ini
berjajar tiga buah batu datar dari bahan andesitik. Di sebelah barat daya batu
pangcalikan terdapat sekumpulan batu satu diantaranya berbentuk bulat panjang.
b) Sipatahunan, Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam
Melalui jalan tanah ke arah timur
terdapat simpang empat. Simpang empat ini ke arah utara menuju Sipatahunan dan
ke arah selatan menuju Situs Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam. Sipatahunan
adalah salah satu bagian tepian Citanduy yang landai. Di sini tidak terdapat
objek arkeologi.
Situs Sanghyang Bedil berupa
bangunan susunan batu berbentuk segi empat. Pada sisi selatan terdapat celah
tembok sebagai jalan masuk. Di tengah lahan terdapat 2 batu panjang dalam
keadaan patah. Sebuah batu dalam posisi tegak dan yang satunya lagi roboh. Batu
yang roboh ini disebut Sanghyang Bedil karena bentuknya mirip senapan (bedil).
Di sebelah selatan Situs Sanghyang
Bedil terdapat lahan yang disebut Panyabungan Hayam. Halaman ini berbentuk
melingkar yang di tengahnya terdapat pohon bungur. Pada sisi utara terdapat
tatanan batu.
c) Lambang Peribadatan
Menyusuri jalan tanah ke arah utara
kemudian berbelok ke timur akan dijumpai batu Lambang Peribadatan. Batu ini
berada pada halaman yang dibatasi susunan batu berbentuk bujur sangkar. Jalan
masuk berada di sisi timur. Di tengah halaman terdapat batu berdiri berbentuk
segi empat panjang, dikelilingi susunan batu bulat. Batu berdiri tersebut dahulu
(tahun 1960-an) ditemukan di sebelah utara lokasi sekarang pada jarak sekitar
10 m. Dengan berbagai pertimbangan kemudian didirikan di lokasi sekarang dan
dibuatkan pagar dari susunan batu sebagaimana objek yang lain.
d) Cikahuripan
Menyusuri jalan tanah ke arah timur
akan sampai di Cikahuripan. Cikahuripan merupakan pertemuan dua sungai kecil
yang bernama Citeguh dan Cirahayu. Kondisi Cikahuripan yang ada sekarang
merupakan tempat mandi untuk keperluan tertentu. Bangunan yang ada merupakan
bangunan baru dengan dilengkapi berbagai fasilitas misalnya tempat sholat.
e) Panyandaan dan Makam Sri Bhagawat Pohaci
Ke arah timur dari Cikahuripan
terdapat susunan batu berbentuk persegi yang menyerupai tembok batu. Pada sisi
timur terdapat celah sebagai jalan masuk. Di tengah struktur batu keliling
terdapat batu berdiri dan batu datar berbentuk segitiga yang dikelilingi
susunan batu kecil. Situs ini disebut Panyandaan.
Di depan Situs Panyandaan terdapat
tiga buah batu berdiri yang salah satunya dalam posisi condong. Di sekitar batu
berdiri ini terdapat sebaran batu-batu bulat. Objek ini dipercaya sebagai makam
Sri Bhagawat Pohaci.
f) Pamangkonan
Situs Pamangkonan terletak jauh di
sebelah selatan Situs Panyandaan atau di sebelah timur Situs Pangcalikan. Objek
berupa susunan batu berbentuk persegi. Pada sisi timur terdapat celah sebagai
jalan masuk. Di tengah objek terdapat susunan batu-batu bulat mengelilingi
salah satu batu. Batu ini juga disebut Sanghyang Inditinditan dahulu ditemukan
di Sungai Citanduy.
g) Makam Adipati Panaekan
Jalan dari Pamangkonan ke arah
tenggara terdapat makam Adipati Panaekan. Objek yang ada berupa tatanan batu
bersusun melingkar. Di tengah susunan batu tersebut terdapat makam. Adipati
Panaekan adalah tokoh yang menurunkan bupati pertama Ciamis.
h) Fitur Parit dan Benteng
Selain beberapa objek sebagaimana
disebutkan terdahulu, di komplek Karangkamulyan terdapat fetur parit. Parit ini
dijumpai di sebelah barat halaman parkir dan di sekeliling situs inti. Jejak
parit kuna di sebelah barat halaman parkir tepatnya terletak pada batas situs
sekarang dengan kawasan rest area. Parit tersebut membujur utara-selatan
menghubungkan antara Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Keadaan parit di
sebelah selatan jalan raya sudah tidak begitu tampak. Sedangkan di sebelah
utara jalan raya masih jelas keadaannya. Lebar parit yang ada sekitar 10 m
dengan kedalaman sekitar 2 m.
Situs Karangkamulyan (Zona I),
dikelilingi oleh parit kuna yang memiliki lebar bervariasi 0,5-1,5 meter,
sebagian tertutup oleh semak. Pada sisi luar parit di sebelah terdapat gundukan
tanah membentuk benteng membujur utara-selatan, dengan tinggi sekitar 2 m
dengan lebar bervariasi antara 3 hingga 4 m. Dilihat dari jejak-jejak yang ada,
benteng ini juga berlanjut hingga tepi Sungai Cimuntur. Berdasarkan temuan
keramik asing menunjukkan berasal dari sekitar abad ke-10 – 17.
Peninggalan di situs Karangkamulyan
dihubungkan dengan legenda Ciung Wanara. Disebutkan ketika Prabu Adimulya
Permanadikusuma memerintah Galuh, berkehendak untuk menjalani hidup sebagai
pertapa. Untuk mewujudkan keinginan itu, pemerintahan Galuh diserahkan kepada
Prabu Bondan Sarati. Prabu Adimulya Permanadikusuma memulai kehidupan sebagai
pertapa bergelar Pandita Ajar Sukaresi.
Galuh di bawah pemerintahan Prabu
Bondan Sarati tidak lagi makmur. Rakyat sangat menderita karena raja memerintah
dengan sewenang-wenang. Diam-diam raja ingin melenyapkan Pandita Ajar Sukaresi.
Di pertapaan, Ajar Sukaresi terus menerus melatih kesktian. Hingga akhirnya
kesaktian Ajar Sukaresi terkenal di mana-mana. Melihat keadaan seperti ini
Bondan Sarati tidak merasa senang tetapi merasa sebaliknya.
Dengan dalih ingin mengetahui
kesaktian Ajar Sukaresi, Bondan Sarati meminta kepada Ajar Sukaresi untuk
menebak isi kandungan Dewi Naganingrum, istri Ajar Sukaresi, yang sebenarnya
tidak mengandung. Ajar Sukaresi tahu bahwa Dewi Naganingrum tidak mengandung,
namun ia mengatakan bahwa Dewi Naganingrum mengandung bayi laki-laki yang kelak
akan menyaingi Bondan Sarati.
Bondan Sarati gusar dan
memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Ajar Sukaresi. Tidak ada prajurit yang
berhasil membunuhnya bahkan selalu mendapat celaka. Kandungan Dewi Naganingrum
semakin terlihat. Bondan Sarati semakin gusar. Untuk mencegah ramalan Ajar
Sukaresi, Dewi Naganingrum dibuang di hutan. Raja berpesan kepada Paman Lengser
jika Dewi Naganingrum benar-benar melahirkan bayi laki-laki maka bayi itu harus
dibunuh.
Ketika saatnya tiba Dewi Naganingrum
benar melahirkan bayi laki-laki. Paman Lengser tidak tega membunuhnya. Bayi itu
kemudian dimasukkan ke dalam peti dengan dibekali telur dan keris kemudian
dihanyutkan di Sungai Citanduy. Untuk memberi bukti kepada raja, Paman Lengser
membunuh anak anjing dan darahnya diperlihatkan kepada raja.
Bayi yang dihanyutkan ditemukan oleh
nelayan yang bernama Aki Balangantrang dan kemudian dirawat dan diasuhnya.
Telur ayam yang menyertainya juga dirawat yang kemudian menetas jadi ayam
jantan. Selama dalam asuhan Aki Balangantrang bayi tersebut disembunyikan di
Geger Sunten. Anak yang diasuh Aki Balangantrang suatu saat diajak ke hutan
untuk belajar berburu. Di hutan menjumpai burung ciung dan kera (wanara). Anak
asuh Aki Balangantrang sangat terkesan dan meminta kepada Aki Balangantrang
supaya dirinya diberi nama Ciungwanara.
Berkat asuhan Aki Balangantrang,
Ciungwanara tumbuh menjadi seorang dewasa yang cerdas dan tangkas. Ketika itu
di Galuh sedang marak perjudian sabung ayam. Ayam jantan yang menyertai bayi
Ciungwanara juga tumbuh menjadi ayam aduan yang tangguh. Kecerdasan Ciungwanara
dan ketangguhan ayam jantannya terdengar oleh Bondan Sarati. Raja Galuh ini
mulai gusar. Ia memerintahkan membunuh Ciungwanara dengan siasat mengadakan
sayembara sabung ayam. Direncanakan ketika berlangsung sabung ayam Ciungwanara
dibunuh.
Sayembara sabung ayam yang diselenggarakan
Bondan Sarati hadiahnya bagi yang bisa mengalahkan ayam raja berupa separuh
wilayah Kerajaan Galuh. Mendengar berita itu, Ciungwanara tidak segan-segan
memanfaatkan kesempatan. Ketika terjadi pertempuran antara ayam Ciungwanara dan
ayam Bondan Sarati, Ciungwanara selalu waspada, sehingga terhindar dari usaha
pembunuhan. Akhirnya ayam Ciungwanara dapat mengalahkan ayam raja.
Atas kekalahannya dalam sabung ayam,
Bondan Sarati ingkar janji untuk memberikan separoh wilayah kerajaan. Bahkan
memerintahkan rakyat membuat kerangkeng untuk menangkap Ciungwanara. Ketika
kerangkeng sudah siap Bondan Sarati memeriksanya. Ketika itu pula Ciungwanara
beraksi menutup kerangkeng. Prabu Bondan Sarati terjebak di dalamnya dan tidak
bisa keluar selama-lamanya. Melihat peristiwa ini seluruh rakyat Galuh bersuka
cita. Kesengsaraan yang mereka derita selama ini terbalaskan. Ciungwanara
kemudian diangkat menjadi raja di Galuh.
Situs ini sangat cocok dijadikan
objek wisata karena berada di jalur jalan utama yang menghubungkan Jawa Barat-Jawa
Tengah. Pada sektor kepurbakalaan pemanfaatannya sudah dilakukan namun masih
perlu adanya peningkatan. Sebagai peninggalan purbakala seharusnya informasi
tentang kepurbakalaan itu sendiri yang perlu diangkat. Legenda yang melatarbelakanginya
terasa lebih mendominir bila dibandingkan dengan aspek peninggalan
purbakalanya. Keberadaan “rumah informasi” perlu ditingkatkan fungsinya. Lain
dari pada itu, situs Karangkamulyan masih menyimpan potensi yang berkaitan
dengan keanekargaman hayati yang ada di situs tersebut. Kera yang hidup di
hutan dan berbagai jenis tumbuhan dapat dijadikan daya tarik tersendiri.
Lokasi: Desa Karangkamulyan,
Kecamatan Cijeungjing
Koordinat: 7°20,84'S, 108°29,376'E
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar